Manufacturing Hope 29
Saya tidak menyangka persoalan seperti utang negara, impor garam, dan
sulitnya swasembada gula sudah menjadi bisik-bisik tetangga di desa.
Padahal, desa ini berada di lereng Gunung Ciremai nun di Kabupaten
Kuningan, Jabar. Saya beruntung Jumat malam lalu bisa bermalam di Desa
Bunigeulis dan berdialog dengan ratusan penduduk setempat.
Mengapa penduduk desa sampai gelisah dan pusing memikirkan utang
negara? Bahkan impor garam? Ternyata ada virus yang menjalar cepat:
virus informasi setengah matang. Mereka hanya tahu sepotong tentang
utang negara: jumlahnya yang meningkat.
Saya minta seorang peserta dialog untuk berdiri. Saya ajukan
pertanyaan padanya: baik mana, Anda punya utang Rp 8 juta tapi kekayaan
Anda Rp 10 juta atau Anda punya utang Rp 20 juta tapi kekayaan Anda Rp
100 juta.
Benar bahwa utang itu meningkat, tapi juga benar kekayaannya
meningkat drastis. Inilah yang tidak pernah sampai ke masyarakat.
Mungkin memang tidak sampai, mungkin juga sengaja disembunyikan.
Peserta dialog yang saya minta berdiri itu rupanya seorang humoris.
Dengan nada bergurau dia menjawab, lebih baik kekayaannya meningkat,
tapi tidak punya utang! Ini mah mirip khotbah Jumat yang pernah saya
dengar: semua orang itu inginnya serbaenak. Waktu kecil dimanja, waktu
remaja foya-foya, waktu muda kaya raya, waktu tua sehat bahagia, waktu
meninggal masuk sorga!
Dari dialog di desa malam itu saya melihat penularan hope kalah cepat
dengan penularan pesimisme. Begitu cepat virus pesimisme, sinis, keluh
kesah, dan sebangsanya menjalar ke mana-mana. Ini tentu bahaya,
mengingat hope adalah salah satu faktor utama untuk kemajuan bangsa.
Di sini hope menghadapi persoalan yang sangat berat. Menularkan
pesimisme cukup hanya dengan kata-kata. Modalnya pun hanya gombal.
Sedangkan membangun hope harus dengan kerja nyata plus hasil yang bisa
dirasa. Setiap kesulitan harus diberikan jalan keluar. Setiap kebuntuan
harus ada terobosan. Masyarakat yang ada dalam “kuldesak” yang terlalu
lama hanya akan membuat virus anti kemajuan merajalela.
Serbuan virus hopeless dari kota inilah yang kini harus dilawan di
desa-desa dengan bukti nyata. Karena itu, Bulog, Sang Hyang Sri,
Pertani, Pupuk Indonesia, PT Garam, pabrik-pabrik gula, perhutani, dan
banyak BUMN lainnya tahun ini harus bekerja all-out di lapangan.
Bulog, dengan pasukan semutnya, ternyata bisa. Dalam lima bulan ini
saja Bulog sudah berhasil menghimpun 2 juta ton beras! Prestasi yang
sangat membanggakan. Kerja lima bulan ini sudah sama dengan hasil
pengadaan beras selama dua tahun (2010-2011).
Memang melelahkan. Tapi, itulah harga yang harus dibayar untuk
memulihkan kepercayaan masyarakat. Memang harus muter terus -saya lihat
sampai-sampai Dirut Bulog Sutarto Alimoeso kini ganti sepatu kets- tapi
dengan hasil yang begitu nyata akan menambah kepercayaan diri kita.
Memulai kerja keras memang sangat berat. Tapi, kalau sudah terbiasa bekerja keras, semua pekerjaan akan menjadi mudah.
Dalam dua minggu ini saya juga sudah berkeliling 14 pabrik gula di
tiga provinsi. Sudah pula tampak perubahan: bukan saja pocong-pocong
sudah bermetamorfosis menjadi “Ayu-ayu Azhari”, tapi gigitannya pun
sudah berotot. Semua pabrik gula sudah mampu meningkatkan rendemen awal.
Semua pabrik gula juga sudah berani memberikan jaminan rendemen minimal
kepada petani.
Hebatnya lagi, semua pabrik gula juga sudah berani memberikan uang
jaminan kepada petani tebu. Selama ini petani tebu terjerat oleh
pedagang gula. Ini bukan salah si pedagang, tapi karena pabrik gula
sendiri yang tidak berdaya: baru bisa membayar sebulan setelah petani
menyerahkan tebunya.
Sebaliknya pabrik-pabrik gula kini juga sudah berani menerapkan
prinsip BSM kepada petani tebu: bersih, segar, manis. Tebu yang dikirim
ke pabrik haruslah tebu yang bersih. Tidak tercampur pucuk-pucuknya,
tanah-tanahnya, dan anakan-anakannya. Tebu itu juga tebu yang segar,
yang fresh from the field.
Dan yang paling penting, tebu yang dikirim ke pabrik adalah tebu yang
sudah cukup manisnya. Jangan menebang tebu sebelum dipastikan
(diperiksa dengan alat pengukur) bahwa tebu tersebut sudah matang kadar
gulanya.
Saya melihat semangat yang tinggi di semua manajer dan karyawan
pabrik gula yang sudah saya kunjungi. Juga semangat untuk “polos-polos
saja”. Semula dahi saya mengerut ketika mendengar istilah “polos-polos
saja” itu. Saya tidak mengerti apa maksudnya. Ternyata itulah tekad baru
untuk tidak mempermainkan angka. Angka rendemen, angka timbangan, angka
pupuk, angka tanam, angka angkutan, dan angka-angka yang menggoda
lainnya.
Saya paham, membiasakan diri untuk “polos-polos saja” juga sangat
berat awalnya. Tapi, kalau sudah terbiasa, hidup ini akan dimudahkan
jalannya.
Sang Hyang Sri, Pertani, dan Pupuk Indonesia (Pupuk Sriwijaya,
Petrokimia Gresik, Pupuk Kaltim, dan Pupuk Kujang) juga bisa menjadi
motor besar untuk menggerakkan hope di seantero desa: mendekatkan benih
unggul, pupuk, dan pembasmi hama ke desa-desa. Puluhan ribu kios harus
di bangun. Di mana-mana.
Jangan sampai petani kesulitan mencari pupuk yang akhirnya mendapat
pupuk palsu. Sulit mencari benih unggul yang akhirnya menanam padi
seadanya. Program mendekatkan benih-pupuk ke desa-desa memang akan
memakan waktu, tapi harus istiqamah jalannya.
Garam pun sebenarnya juga penuh dengan hope. Terutama untuk garam
yang dimakan manusia. (Sebagian besar garam diperlukan oleh pabrik
kertas!). Sebetulnya, kalau hanya untuk manusia Indonesia, keperluan
garamnya tidak banyak: 1,4 juta ton per tahun. Kita lebih menyukai yang
manis-manis daripada yang asin-asin.
Saya berterima kasih bahwa Menteri Perindustrian, Bapak M.S. Hidayat,
menemukan cara baru: membranisasi ladang garam. Begitu pentingnya
program membranisasi ini sehingga saya usul ke Pak Hidayat penyertaan
modal negara (PMN) untuk berbagai industri dikurangi saja. Lebih baik
dikonsentrasikan untuk menolong jutaan petani garam di seluruh
Indonesia. Triliun rupiah PMN untuk Merpati, misalnya, hasilnya
begitu-begitu saja. Merpati harus dicarikan jalan sendiri. Jalan
korporasi. Bukan jalan subsidi.
Kalau dari sekitar 20.000 hektare ladang garam di seluruh Indonesia
bisa diberikan membran 10 persennya saja, hasilnya bisa mencapai 1,7
juta ton/tahun. Sudah melebihi keperluan garam untuk manusia Indonesia.
Tapi, membeli membran untuk 2.000 ha ladang garam memang memerlukan
biaya besar. Tiap hektare memakan dana Rp 20 juta. Tapi, angka itu tidak
ada artinya jika dibandingkan dengan PMN untuk bidang lain. Padahal,
angka itu begitu besar artinya bagi petani garam. Belum lagi bagi harga
diri bangsa yang selalu dihina dengan kalimat: garam pun harus impor!
Sambil menunggu PMN, saya akan minta bank-bank BUMN untuk menghitung.
Mungkinkah skema kredit dilakukan untuk membranisasi itu. Menurut
hitungan Dirut PT Garam, payback membran ini hanya dua tahun. Berarti
petani garam bisa mengembalikan kredit itu dalam dua tahun. Apalagi
kalau diizinkan menggunakan dana KPBL BUMN untuk membayarkan bunganya.
Agar petani garam tidak dibebani bunga.
Membran adalah sejenis plastik yang dihamparkan di tambak garam.
Dengan dihampari membran, keuntungannya dobel: proses pembuatan garamnya
lebih cepat (air lautnya lebih panas sehingga lebih cepat menguap) dan
semua garamnya menjadi garam kelas satu.
Tanpa membran, lapisan garam yang paling bawah pasti tercampur tanah
dan lumpur. Ini membuat sekian persen garam menjadi garam kelas tiga.
Sulit dijual. Murah pula harganya. Di Madura saja kini ada 350.000 ton
garam jenis ini. Menumpuk. Tidak ada yang beli. Isunya pun negatif: BUMN
tidak mau beli garam rakyat.
Membran adalah hope baru bagi petani garam. Ini juga belum banyak diketahui.
Selesai salat Jumat di sebuah masjid di pinggir jalan di Cirebon
minggu lalu, ketika mulai mengenakan sepatu DI-19, saya didatangi camat
dan kuwu setempat. Sambil melirik DI-19, Pak Camat mengemukakan bahwa di
depan masjid itu ada aset BUMN yang sudah puluhan tahun menganggur.
Itulah bangunan milik PT Garam yang sudah lama ditinggalkan.
Padahal, ada sekitar 1.000 petani garam di kawasan dekat masjid itu
sampai ke Indramayu. PT Garam sebagai BUMN tidak pernah melakukan
pembelian garam rakyat. Kepada Pak Camat, saya berjanji untuk
menelusurinya. Saya juga bertanya: apakah sudah ada petani garam yang
menggunakan membran. Ternyata belum. Bahkan, kata membran pun baru
sekali itu dia dengar.
Sambil mengemudikan mobil ke Pabrik Gula Jatitujuh, saya hubungi
Dirut PT Garam. Benar. Tidak ada pembelian itu. Bahkan sudah sejak 1992.
Tapi, PT Garam yang baru mulai tahun ini bisa bernapas sudah bisa
memberikan hope. Tahun ini PT Garam bisa membeli garam rakyat di
Cirebon-Indramayu sebanyak 15.000 ton. Indikasi harganya pun sudah bisa
disebut: Rp 700 hingga Rp 720 per kilogram, bergantung kualitasnyana.
Ini sudah lebih baik daripada harga tahun lalu yang Rp 620 per kilogram.
Untuk garam, kawasan Cirebon-Indramayu memang tidak sebagus Madura.
Di Indramayu, petani hanya bisa membuat garam sekitar empat bulan dalam
setahun. Bulan ini, saat Madura sudah bisa menghasilkan garam, Indramayu
masih hujan. Tentu di atas langit masih ada langit. Sebagus-bagus
Madura masih lebih bagus lagi Kupang, NTT. Di sana garam bisa dibuat
selama sembilan bulan dalam setahun!
Hanya belum ada ladang garamnya. PT Garam baru akan ke sana setelah napasnya genap. Mungkin tahun depan.
Hope memang tidak membuat perut terasa kenyang. Tapi, hope-lah yang bisa membuat hidup terasa lebih hidup!
Dahlan Iskan
Menteri BUMN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar